Kamis, 16 Desember 2010

BaCa YUkZ

Mei ni, gadis cantik, kutunggu kau di bawah lambaian dedaunan pohon Yang Liau. Yang bergoyang lembut mengikuti irama angin, di tepian sungai Huangpu . Apakah kau mengerti tentang ini? Tentang rasa yang tak tersampaikan, walau setiap hari kita bertemu.
“A Xing! Lihat aku menemukan burung ini!” A Lien, gadis cantik itu membawa seekor burung kecil yang terluka dalam keranjang rumput, bekas bungkus kepiting bulu. Sup kepiting bulu adalah masakan yang paling disuka ayah A Lien. Apakah ada sesuatu yang dirayakan keluarga itu hari ini? Sebab kepiting bulu mahal sekali, bila tak ada acara yang penting, tak mungkin kepiting bulu masuk dalam menu makan malam.
“Kau kelihatan gembira, ada apa? Kau berulang tahun?” tanyaku.
“Tidak! Lihatlah burung ini, kasihan sekali ya.”
“Burung apa?”
“Pu Ke.”
“Liau Ke.”
“Aku menemukannya tergeletak tak jauh dari kerbau- kerbau di ladang. Ini pasti burung Pu. Bukankah burung itu selalu naik di atas punggung kerbau.”
“Aku benci burung Pu. Burung yang malas. Tidak mau jalan sendiri. Kemana-mana menumpang punggung kerbau. Makan pun tergantung kerbau. Dia cuma menangkap lalat yang hinggap di pantat kerbau. Makhluk yang bisanya memanfaatkan makhluk lain!”
”Hei! Burung ini terluka, kenapa kau malah marah!” A Lien gusar.
“Itu bukan burung Pu, itu burung Liau! Burung Pu lebih besar dan berwarna abu-abu. Burung mungil berwarna biru ini, burung Liau. Lidahnya pasti terluka,” jelasku tegas.
“Bagaimana kau tahu ?” Mata sipit itu berkedip. Ah, kau memang menggemaskan A Lien.
”Legenda itu penyebabnya, burung ini pasti tadi ditangkap anak-anak dan dijadikan bahan permainan. Mereka pasti ingin membuktikan legenda itu.”
“Ceritakan padaku A Xing,” A Lien meminta dengan manis
“Liau ke dulunya seorang putri yang cantik. Ia jatuh cinta pada seorang pegawai istana berkasta rendah, tentu saja pada jaman itu hal tersebut sangat terlarang. Percintaan mereka pun menjadi kisah cinta terlarang.”
“Kasihan sekali, untung aku tak mengalaminya. Aku dijodohkan dengan A Lung, kami sederajat. Ayah sangat berhati-hati dalam memilihkanku calon suami. Nanti malam keluarganya akan datang melamarku.” Jadi untuk acara itulah kepiting bulu itu dihidangkan. Aku sekarang mengerti.
“Apa kau mencintai A Lung?” tanyaku langsung ke matanya. A Lien gagap menerima tatapku. Dia tercenung sesaat, lalu membuang mukanya.
“Entahlah aku belum mengerti. Aku masih ingin bermain di tepi sungai ini bersamamu, melihat kerbau, burung, dan memancing He Fen.”
“Kau suka sekali ikan beracun itu ya! Besok aku akan beli di pasar, dan memasaknya untukmu.”
“Ha ha ha! He Fen sungai lebih enak daripada He Fen pasar! Lanjutkan ceritamu.”
“Percintaan terlarang mendatangkan kutukan. Itu terjadi ketika Liau menolak dijodohkan dengan seorang pangeran. Bukan karena ia tidak tampan. Masalahnya ada janin yang tertanam dalam kandungan.”
“Anak dari pegawai berkasta rendah itu ya. Ah, kasihan sekali, cinta yang sulit. Pasti dipenuhi uraian air mata.”
“Dan banyak pengorbanan tentunya!” Seperti apa yang telah terjadi padaku. Aku banyak berkorban perasaan, hanya untuk bisa selalu dekat denganmu, tapi apakah kau mengerti tentang itu A Lien?
“Ya itu pasti.”
“Kaisar mengutuk putri Liau menjadi seekor burung. Dengan hati yang sedih Liau terbang keluar istana mencari kekasihnya untuk mengabarkan keadaanya. Tapi sayang sang kekasih tak dapat mengerti kata-kata Liau, karena Liau hanya bisa mencicit saja.”
“Lalu?”
“Liau pergi ke kuil di puncak gunung. Ia memohon pada dewa-dewa agar ia bisa bicara dengan bahasa manusia pada kekasihnya, untuk yang terakhir kali.”
“Kenapa Liau tak memohon untuk menjadi manusia kembali, jadi ia bisa bersama kekasihnya kembali?” Sebuah pertanyaan polos terlontar dari bibir mungil itu.
“Mmmm, Entahlah mungkin Liau sangat bingung. Jadi dia tak bisa berpikir hal lain. Lagi pula bila ia kembali jadi manusia, Apakah kaisar akan meloloskannya begitu saja? Ia pasti dikutuk lagi, menjadi katak mungkin.”
“Ha ha ha!”
“Dewa mengabulkan permohonannya, tapi dengan syarat berat. Kau pasti akan menangis bila mengetahuinya. Mungkin lebih baik tak kuceritakan saja ya?”
“Aaaah! A Xing jahat sekali! Jangan bikin penasaran nanti aku tak bisa tidur!”
”Ha ha ha! Baiklah, Liau harus memotong lidahnya, lalu dibakar dengan api dari puncak gunung.”
”Syarat yang berat. Bagaimana mungkin dengan sayap mungil ini bisa terbang ke puncak gunung. Sambil menahan sakit lidah yang terpotong.”
”Itulah perjuangan Liau. Sayang ia tak pernah sampai ke puncak gunung. Ia mati di tangan anak-anak. Seperti Liau Ke yang ada di tanganmu itu.”
”Ah sangat mengharukan. Selamanya Putri Liau tak pernah dapat menyampaikan perasaannya. Liau Ke ini juga akan matikah?”
”Tentu, tanpa lidah ia tak bisa makan, ia akan mati kelaparan.”
”Akan kubawa ia pulang. Biarlah ia mati dengan nyaman di rumah. Daripada mati di kerubung semut di ladang.” A Lien membungkus burung itu dengan sapu tangannya.
Kupandangi wajah A Lien. Mungkin ini untuk terakhir kalinya. Dia akan segera menikah dengan A Lung. Aku tak akan bisa memandangnya dengan bebas seperti ini lagi. Seorang pelayan sepertiku tak mungkin bisa mendapatkan anak bangsawan seperti A lien. Lagipula percintaan antara majikan dan pelayan adalah terlarang. Bukankah tugasku hanya melayani A Lien dengan penuh pengabdian dan kesetiaan. Bukan melayaninya dengan cinta. Aku sangat tahu diri dalam hal ini.
Legenda Liau Ke itu sebenarnya tak pernah ada. Aku mengarang cerita itu hanya untuk menggambarkan perasaanku pada A Lien. Tentang rasa cinta yang tak pernah bisa tersampaikan ini. Tapi apakah kau bisa mengerti A Lien? Haruskah kupotong lidahku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar