DIDI BUDI WIJONO1 dan BAMBANG SETIADI2
1Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan 67184
2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK
Sapi Madura adalah sapi potong tipe kecil merupakan salah satu plasma nutfah sapi potong indigenus dan
suseptable pada lingkungan agroekosistem kering dan berkembang baik di pulau Madura. issue menunjukkan
terjadinya penurunan produktivitasakibat seleksi negatif yaitu pemotongan sapi produktif/tampilan yang baik,
faktor inbreeding yang disebabkan selama ini pulau Madura merupakan wilayah tertutup untuk sapi potong
lain. Upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kemampuan
produktivitas komoditas sapi Madura yang telah tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan lahan
kering, relatih tahan terhadap penyakit dan kesuaian selera masyarakat. Keragaman genotip sapi Madura
cukup beragam dan memiliki kisaran berat badan 300 kg dan pada pemeliharaan kondisi baik untuk
perlombaan mampu mencapai > 500 kg, dan memiliki persentase karkas sampai 60 %, efsiensi reproduksi
cukup rendah, disamping itu sapi Madura memiliki nilai sosiobudaya digunakan atau dilombakan sebagai sapi
Kerapan dan sapi Sonok (pajangan). Sapi Kerapan dan Sonok adalah sapi yang memiliki performan terpilih
dan kondisinya sangat baik. Perbaikan mutu sapi Madura untuk mendukung peningkatan produktivitas dapat
dilaksankan seleksi in-situ dan yang telah cocok lingkungannya dengan alternatif lain melalui grading up
yaitu mengkombinasikan genotip dengan perkawinan silang yang diharapkan mampu meningkatan
produktivitas secara cepat dalam waktu relatif pendek. Pelestarian sebagai plasma nutfah Indonesia dan
kebanggan memiliki genotip sapi potong yang perlu dipertimbangkan secara hati-hati dan bijaksana guna
menghindari kerusakan genotip yang telah memiliki kemapanan homogenitasnya sebagai bangsa dan
penyesalan dikemudian hari. Demikian pula penghargaan terhadap PP perlindungan ternak yang masih
berlaku dan diperlukan penegasan dan peninjauan kembali terhadap kebijakan lain. Dengan demikian
penanganan sapi Madura sebagai plasma nutfah ditindak lajuti secara bijaksana.
Kata kunci: Sapi Madura, performans, pelestarian, genotip
PENDAHULUAN
Sapi potong merupakan komoditas strategis
yang perkembangannya sangat mendukung
perkembangan ekonomi masyarakat, dikarenakan
sebagian besar dipelihara dan dikembangkan
oleh petani sehingga gejolak dollar tidak
memberikan efek yang berarti. Pengembangan
komoditas sapi potong paling tidak sebagai
upaya yang diharapkan mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri dari sapi potong lokal
atau mengurangi secara betahap kebutuhan
produk ternak melalui import.
Sapi Madura merupakan salah satu plasma
nutfah sapi potong indigenus dan suseptable
pada lingkungan agroekosistem kering dan
berkembang baik di pulau Madura.
Sebagaimana sapi potong lain menunjukkan
terjadinya penurunan produktivitasnya yang
dapat diakibatkan oleh seleksi negatif yaitu
pemotongan sapi produktif/tampilan yang baik,
faktor inbreeding akibat pulau Madura merupakan
wilayah tertutup untuk sapi potong lain.
Kontribusi sapi Madura sebagai sapi
potong yang berkembang dengan baik di Jawa
Timur khususnya di pulau Madura mempunyai
kontribusi yang cukup besar sampai 24 % dari
kebutuhan suply sapi potong yang bersalaj dari
Jawa Timur.
Perubahan lingkungan global secara
langsung maupun tidak akan mempengaruhi
lingkungan ternak antara lain akibat
pembangunan fisik yang berkembang dengan
pesat, perkembangan pengetahuan/pendidikan
akan merubah sosiobudaya masyarakat, pada
akhirnya dapat terjadi penurunan SDA, ketidak
seimbangan antara ketersediaan sumber pakan
dengan populasi (“over crowded ?”).
Salah satu upaya meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat melalui
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
43
komoditas sapi potong melalui peningkatan
kemampuan produktivitas ternak local yang
telah tumbuh dan berkembang dengan baik
pada lingkungan lahan kering dan terdapat
kesuaian selera masyarakat madura.
Perbaikan mutu sapi Madura untuk
mendukung peningkatan produktivitas dapat
dilaksankan seleksi pada komunitas in-situ
yang telah cocok lingkungannya, dengan
alternatif lain melalui grading up yaitu upaya
mengkombinasikan genotip dengan perkawinan
silang yang diharakan mampu meningkatan
produktivitas secara cepat dalam waktu relatif
pendek. Pengembangan ternak potong secara
croosbreeding dengan perkawinan silang sapi
potong temperet yang memiliki mutu genetik
unggul dan produktivitas yang tinggi
mengakibatkan perubahan perilaku ternak
sehingga perlu diimbangi dengan perbaikan
pemberian pakan dan pengendalian penyakit.
Sebagaimana diketahui bahwa pengaruh
lingkungan terhadap produktivitas ternak
mencapai 70% dibandingkan dengan pengaruh
faktor genetik sebesar 30% dan pengaruh
perlakuan pakan sendiri dapat mencapai 60%
dari pengaruh lingkungan.
Dengan demikian perbaikan mutu sapi
Madura dapat dilakukan dengan seleksi dan
atau perkawinan silang (crossbreeding) melalui
grading up untuk dapat menghimpun genotipik
unggul pada keturunan yang memiliki
kemampuan produksi lebih tinggi dan
diimbangi penyesuaian pengaruh lingkungan
terhadap tatalaksana pemeliharaan terutama
pemenuhan kebutuhan pakan dan pencegahan
penyakit. Penyediaan keturunan murni sebagai
cikal bakal atau komunitas atau populasai dasar
pembentukan bibit “baru” dengan program
sistem pemuliabiakan yang mapan.
Akan tetapi upaya perkawinan silang
(crossbreeding) perlu ditindak lanjuti dengan
strategi pemuliabiakan yang terkendali dan
berkelanjutan dalam upaya menekan efek
samping crossbreeding yang mengarah
perubahan mutu ternak kearah perkembangan
negatif
POTENSI SAPI MADURA
Morfologi
Sapi potong lokal (indigenus) yang
berkembang di Indonesia cukup banyak
ragamnya salah satunya adalah sapi Madura,
dan termasuk sapi potong type kecil. Sapi
Madura dalam perjalanan perkembangannya
merupakan hasil pembauran berbagai bangsa
type sapi potong yaitu antara sapi Bali (Bos
sondaicus) dengan Zebu (Bos indicus).
Pejantan yang pernah dimasukkan ke pulau
Madura termasu bangsa Bos taurus antara lain
Red Denis, Santa Gestrudis dan pejantan
persilangan antara Shorthorn dengan Brahman
yang kesemuanya memiliki warna merahcoklat;
Komunitas yang dihasilkan melalui
isolasi dan seleksi alamiah yang ketat
menghasilkan sapi yang relatif memberikan
keseragaman genotip yang mantap dan
berkembang sebagai sapi Madura sekarang ini.
Bahkan sapi potong Limousin juga
diperkenalkan sebagai pejantan unggul dalam
upaya meningkatkan produktivitas sapi Madura
(SOEHADJI, 1993 dan SOERJOATMODJO, 2002).
Strategi pemasukan genotipe baru tidak jelas
kelanjutannya dan merupakan tindakan
langkah-langkah jangka pendek atau produksi
sesaat, tidak mempunyai arah, sasaran dan
target yang jelas yang ingin dicapai maupun
permasalahan yang akan timbul dari akibat
perkawinan silang.
Komformasi sapi Madura pada bagian
kepala bertanduk yang mengarah dorsolateral,
beradasar tanduk besar dan pada sapi jantan
memiliki gumba (punuk) sedangkan yang
betina tidak tampak adanya punuk (kecil).
Warna bulu merah bata–merah coklat, warna
sapi jantan dan betina sama sejak lahir sampai
dewasa; garis punggung (linea spinosum)
kehitaman-coklat tua masih ditemukan, warna
keputih2an pada daerah bawah kaki
(metacarpus–phalanx) dan twist/sekitar pantat
(ANONIMUS, 2001).
Populasi sapi Madura di pulau Madura dari
tahun ketahun relatif statis dengan kisaran
600.000–700.000 ekor dan populasi tertinggi
terjadi pada tahun 1932 sebanyak 735.922
ekor. Populasi sapi Madura di Indonesia
hingga tahun 1991 dilaporkan sebanyak
1.279.000 ekor atau sekitar 12% dari populasi
sapi potong di Indonesia, sebanyak 691.092
ekor (54%) terdapat di Pulau Madura dengan
tingkat pertumbuhan mencapai 1,7% pertahun
(SOEHADJI, 1992).
Penyebarannya hampir di seluruh
Nusantara, ditemukan mencapai sekitar18
propinsi yaitu di Sumatra, Kalimantan,
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
44
Sulawesi, NTT dan NTB. Pengembangannya
di luar pulau Madura, tidak menunjukkan
adanya perkembangan yang signifikans
walaupun wilayahnya memiliki kondisi
lingkungan yang hampir sama. Dengan
demikian perlu dilakukan pengamatan terhadap
faktor kendala dan permasalahan yang timbul
pada saat pengembangan di luar pulau
Madura/Jawa Timur.
Produktivitas sapi Madura
Sapi Madura termasuk sapi potong yang
memiliki kemampuan daya adaptasi yang baik
terhadap stress pada lingkungan tropis,
keadaan pakan yang kurang baik mampu
hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik;
serta tahan terhadap infestasi caplak.
Sapi Madura sebagai sapi potong tipe kecil
memiliki variasi berat badan sekitar 300 kg dan
pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan
kebutuhan pakan dengan pakan yang baik
mampu mencapai berat badan ≥ 500 kg,
ditemukan pada sapi Madura yang menang
kontes (SOEHAJI, 2001).
Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat
Madura terhadap ternak sapi Madura memiliki
nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi
betina pajangan yang dikenal sebagai sapi
Sonok dan lomba sapi jantan yang dikenal
sebagai Kerapan. Sapi yang dilombakan
merupakan sapi pilihan yang memiliki
tampilan performans yang sangat baik. Selain
itu peranan pemeliharaan sapi Madura seperti
pemeliharaan sapi potong lainnya yaitu sebagai
sumber penghasil daging, tenaga kerja, dan
kebutuhan ekonomi.
Pola pemeliharaan sapi Madura jantan dari
hasil pengamatan WAHYONO dan YUSRAN
(1992) sebanyak 94% dimanfaatkan sebagai
tabungan yang diharapkan mampu mendukung
kebutuhan ekonomi dan nilai jual cepat atau
pemeliharaan rearing (pembesaraan) sampai
rataan 25,5 bulan.
Performans Produksi
1. Berat badan
Informasi performans laju pertumbuhan
atau besar tubuh berperanan penting sebagai
salah satu faktor yang dapat diukur didalam
pelaksanaan seleksi dan memiliki nilai
heritabilitas tinggi yaitu antara 0,40–0,70
(WARWICK et al., 1983).
Performans berat badan sapi Madura
mempunyai keragaman yang cukup luas,
didapatkan berat badan yang tinggi (± 500 kg)
dan didominasi oleh berat badan yang cukup
rendah (± 300 kg). Pencapaian performans
berat badan cukup beragam yang diakibatkan
oleh keragaman tatalaksana pemeliharaan.
Tampilan performans dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan, termasuk lingkungan
pakan dan kesehatan.
Keragaman berat badan dari ahsil
pengamtan sebelumnya juga menunjukkan
adanya variai yang cukup lebar. DJATI dan
KARNAEN (1993) melakukan pengamatan
terhadap respon status fisiologis dengan
memanfaatkan sapi Madura yang memiliki
berat badan antara 125−290 kg. Rataan berat
badan pada pola pembibitan peternakan rakyat
yang berumur sekitar 1,5−2 tahun 209 kg dan
3−3,5 tahun mencapai berat badan 239 kg
(AINUR RASYID dan UMIYASIH, 1993); dengan
tinggi badan masing-masing 105 cm dan 115
cm, dan berat badan jantan muda s/d 2 tahun
rataan 209 ± 24,1 (177−281) kg (WIJONO,
1998). MUHAMAD SASMITO (1993)
menginformasikan berat badan 125−150
kg;195−220 kg dan 265−290 kg, demikian pula
sapi Madura dara yang diamati UMAR dan
RISZQINa (1993) mendapatkan berat badan
pada umur Io sekitar115−207 kg dan I2
sekitar134−275 kg.
Data yang didapat dari hail pengamatan
menunjukkan variasi umur muda sampai
dewasa mempunyai kemampuan pencapaian
berat badan kurang dari 300 kg. Walaupun
demikian dari hasil penelitian lain memberikan
respon yang berbeda yaitu sapi Madura yang
dipelihara dengan baik dan biasanya sapi yang
d diperuntukkan untuk lomba keindahan yang
dikenal sapi sapi Sonok memiliki kisran berat
badan dengan umur I1–I2 adalah 178,75–
236,64 kg dan I3–I4 sekitar 311,33–335,72 kg
dengan tinggi badan masing-masing adalah
118,42–127,76 cm dan 130,58–132,42 cm;
demikian pula sapi Madura yang diperbaiki
pola pakannya pada sapi yang dikerjakan berat
badannya mencapai 436–449 kg (BAKRI et al.,
1993).
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
45
Berat badan tertinggi yang dilaporkan
SUHADJI (1993) dari hasil pengamatan
performans sapi Maduta yang dilombakan
mencapai berat badan 521 kg. Sedangkan sapi
pejantan yang digunakan sebagai sumber
semen beku yang dipelihara di BIB Singosari
memiliki barat badan sekitar 367–483 kg
(HEDAH, 1993).
Informasi ini merupakan peluang yang
cukup tinggi bagi sapi Madura untuk diperbaiki
mutu genetiknya untuk mendapatkan
performans produksi yang lebih tinggi, baik
dari factor laju pertumbuhan baik berat badan
dan pertambahan berat badan hariannya.
Sebagaimana ungkapan hasil penelitian
MUSOFIE et al. (1993), pada dasarnya dengan
pemberian pakan yang baik mampu
meningkatkan berat badan harian sebesar > 0,8
kg/ekor/hari. Sapi madura memiliki respon
pertumbuhan yang positif terhadap perbaikan
pakan. Demikian pula MOORE (1994) bahwa
angka pertambahan berat badan harian yang
dicapai sapi-sapi lokal di Indonesia berkisar
antara 0,5–0,8 kg/ekor/hari dan sebagian besar
peternakan rakyat lebih rendah.
Sedangkan HARMADJI (1993) mendapatkan
pertambahan berat badan harian pola
pemeliharaan peternakan rakyat yang mampu
dicapai sekitar 0,23–0,47 kg/ekor/hari, dan
KOMARUDIN-MA’SUM (1993) menginformasikan
pengaruh ketinggian tempat terhadap
pertambahan berat badan harian yang
diimbangi dengan peningkatan konsumsi pakan
mampu meningkatkan pertamabahan berat
badan lebih tinggi masing-2 untuk daerah
tinggi dan temperatur rendah dengan daerah
rendah dan temperatur tinggi sebesar 0,45 dan
0,641−0,727 kg/ekor/hari dan konsumsi
pakannya lebih tinggi pada daerah dataran
tinggi.
Kemampuan laju pertumbuhan sapi Madura
mempunyai peluang untuk ditingkatkan dengan
peningkatan potensi genetik yang dimiliki
secara optimal.
2. Karkas
Sapi madura memiliki persentase karkas
yang cukup baik, mampu mencapai 60% yang
didapatkan pada ternak yang dilakukan dengan
pengelolaan dan kecukupan pakan yang
mempengaruhi kondisi ternak.
KOMARUDIN-MA’SUM (1993) mendapatkan
persentase karkas pada sapi Madura dengan
kisarana umur Io–I1 antara 50,96–51,72%
dengan kisaran berat badan 211,7–241,5 kg,
dengan bertambahnya umur akan meningkatkan
persentase karkas akan tetapi peningkatannya
tidak signifikans. Sedangkan HAKIM (1993)
mensiter sebesar 48%; dan HARMADJI 1993
melaporkan persentase karkas jantan dan
betina masing-masing sebesar 48,9 dan 52,7%
(50,9%); demikian pula yang disiter SUHADJI
(1993) pencapaian karkas sebesar 55%
(THAYIB, 1953) dan 50% (AMINUDIN, 1972)
yaitu hasil pengamatan tahun 1953 dan 1972.
Tampaknya terjadi degradasi persentase karkas
yang semakin menurun dan adanya keragaman
yang cukup tinggi.
Performans reproduksi
Aktivitas reproduksi sangat mempengaruhi
peningkatan populasi yang perlu diperhitungkan
walaupun dari segi pemuliabiakan didalam
seleksi lebih ditekankan kepada performans
yang dapat diukur dan menggambarkan
genotype ternak (KINGHORN dan SIMM, 1999).
Data reproduksi yang baru mengenai sapi
Madura sangat kurang. SIREGAR (1985)
melaporkan bahwa sapi Madura beranak pada
umur antara 28–41 bulan, sedangkan
HARMADJI (1992) melaporkan bahwa sapi
Madura beranak pertama pada umur 37 bulan
dengan S/C 1,7–2,0. Siklus birahi sapi Madura
adalah selama 21 hari dengan lama estrus 36
jam. Penyapihan pedet sapi Madura umumnya
pada umur 5 bulan. Data angka kelahiran
pernah dilaporkan oleh KNAP (1934) dengan
rata-rata 45,9% dari tahun 1923 sampai dengan
1929. Tahun 1988 dilaporkan bahwa angka
kelahiran masih berkisar 40% dan pada tahun
1992 angka kelahiran dilaporkan 46,96%.
HARDJOSUBROTO et al. (1993) mendapatkan
umur pertama dikawinkan 2,6 tahun, jantan
dan betina 2,1 tahun, SC baik kawin alam
maupun IB adalah 3,3 ± 0,6; jarak beranak
14,9 bulan, angka kelahiran 46,96 ± 14,96,
kematian pedet 2,22 dan muda-dewasa 1,87,
umumnya akibat penyakit gangguan
pencernaan atau pakan yang jelek yaitu
tympani (kembung). Faktor tatalaksana, pakan
dan kesehatan perlu diperhatikan karena
sebesar 95% gangguan aktivitas reproduksi
tergantung pada faktor ini (TOELIHERe, 1983).
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
46
Penyebaran sapi Madura juga pernah
dilakukan di Kabupaten Bulungan Kalimantan
Timur namun data yang menggambarkan
secara kuantitatif sifat reproduksi dan
produksinya masih belum banyak dilaporkan.
Penyebaran sapi Madura di mulai tahun 1989
di Kec. Tanjung Palas dan Malinau, angka
kelahiran sapi hingga bulan Agustus 1992
dilaporkan 27,72% di Kec. Tanjung Palas dan
30,46% di Kec. Malinau (DINAS PETERNAKAN
TARAKAN, 1992). Pengembangan sapi Madura
di lahan kering di daerah transmigrasi
Sumatera Selatan menunjukkan nilai produksi
dan reproduksi rata-rata masih dibawah sapi
Ongole maupun sapi Bali (KUSNADI et al.,
1992); akan tetapi memiliki sifat keindukan
(mathering ability) yang baik.
Pemberian pakan yang jelek yang
mengakibatkan kondisi badannya sangat jelek
(score kondisi Badan 3) masih mampu
mempertahankan aktivitas reproduksinya dan
lebih baik dari sapi PO maupun Bali (score
Kondisi Badan 4) (WIJONO et al., 1992);
demikian pula sapi Madura yang dipelihara
sangat baik dengan nilai skor kondisi badan >
7–9 mempengaruhi respon aktivitas reproduksi
estrus post partum dengan fertilitas mencapai
95,59% dan infertilitas terjadi pada sapi yang
mempunyai skor kondisi badan 8−9 sebesar
4,47 % (WIJONO dan AFFANDHY, 1996).
Penurunan kondisi badan dan berat badan
yang ekstrim merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan gangguan terhadap perkembangan
dan aktivitas reproduksi, juga terhadap
kondisi badan yang terlalu gemuk terjadi
infertilitas sementara (TOELIHERE, 1980).
3. Kesehatan
Sapi Madura pada dasarnya relatif lebih
tahan terhadap lingkungan kekurangan pakan
maupun infeksi penyakit, walaupun demikian
penyakit yang mampu menyerang ternak
pernah terjangkit juga pada sapi Madura
(DARMONO et al., 1993).
Kasus penyakit yang pernah terjangkit pada
sapi Madura adalah penyakit Surra, ngorok,
ingusan, distomatosis, scabies dan gangguan
reproduksi dan defisiensi nutrisi. Pengamatan
terhadap penyakit menular yang pernah
dilakukan terhadap sapi Madura yaitu SUDANA
et al. (1983) melaporkan dari hasil uji penyakit
ngorok dengan sampel dari RPH Surabaya
didapatkan isolat yang menunjukkan positif
sebanyak 1% dari 758 sampel), sedangkan
SUKAMTO et al. (1988) menemukan kasus
penyakit surra sebanyak 1,3 % dari 130 sampel
yang diamati pada saat terjadinya wabah surra
pada tahun 1988. SOESETYA (1993) melakukan
pengamatan terhadap prevalensi Faciolasis
terahap sapi Madura didapatkan sebesar
2,63%, masih jauh lebih rendah dibanding
kejadian pada sapi lain.
Kejadian penyakit yang terjadi didaerah
pengembangan di luar pulau Madura
dilaporkan adanya penyakit parasiter internal,
hepatitis, enteritis dan paru-paru yang
ditemukan pada kejadian kematian ternak;
disamping itu didapatkan juga penghambat
perkembangan sapi Madura yang diakibatkan
adanya penyakit gangguan akrivitas reproduksi
terutama disfungsi ovarium (ANONIMUS,
1993).
Kasus penyakit insidental yang umum
terjadi adalah akibat gangguan pencernaan
antara lain kembung , diare, dll.
PERBAIKAN MUTU GENETIK SAPI
MADURA
Sapi Madura berkembang secara murni di
pulau Madura dan dilindungi keberadaannya
dari tahun ketahun, mutasi keluar pulau terjadi
untuk memenuhi kebutuhan daging cukup
besar mencapai 24% kebutuhan supply dari
Jawa Timur. Secara berangsur terdapat
kecenderungan penurunan kualitasnya
sebagaimana sapi potong lain.
Peranan sosiobudaya masyarakat Madura
terhadap keberadaan sapi Madura disamping
pemanfaatan sebagai tenaga kerja, kebutuhan
ekonomi yang mampu mendukung perbaikan
mutu genetic ternak adalah aspek budaya
pemeliharaan secara khusus pada sapi yang
terpilih untuk diperlombakan, pajangan dan
memberikan kebanggan tersendiri serta
memiliki nilai ekonomis tinggi (harga jual
tinggi). Sapi betina dipelihara secara baik yang
disiapkan untuk dilombakan sebagai sapi
pajangan yang dikenal sebagai sapi Sonok,
sedangkan sapi jantan digunakan untuk pacuan
sebagai sapi Karapan.
Penggunaan pejantan milik peternak yang
digunakan sebagi pemacek pelayanannya rataLokakarya
Nasional Sapi Potong 2004
47
rata sekitar 12 kali perbulan, tanpa
memperhitungkan mutu pejantan yang
digunakan dan pada prinsipnya mampu
menghasilkan keturunan; hal ini juga sebagai
salah satu faktor penyebab penurunan genotipe
sapi Maduran.
Disamping ketersediaan pejantan berkualitas
yang terbatas, pemotongan betina produktif
dan penyediaan perbibitan sapi Madura belum
tersedia yang diharapkan mampu bertindak
sebagai replacement stock.
Tampaknya peluang pejantan yang
berkualitas untuk digunakan sebagai pejantan
sangat terbatas, pejantan yang dipelihara
dengan baik dimanfaatkan hanya sekedar hoby
atau kebanggan untuk kerapan (kesenangan
3%). Sayangnya sapi jantan yang dipelihara
sebagai sapi karapan tidak digunakan sebagai
pejantan pemacek, walau kondisi performans
sangat baik. Hal ini dilakukan untuk
menghindari karakter sapi pejantan berubah
bertemperamen tinggi (liar, ganas) yang sulit
dikendalikan, sehingga perbaikan mutu melalui
Inseminasi buatan memiliki peluang yang
cukup besar untuk mendukung meningkatkan
perbaikan mutu sapi Madura.
Perkawinan sapi dengan cara Inseminasi
Buatan (IB) telah dikenalkan sejak tahun 1983.
Namun perkembangan program perkawinan
secara IB ini pun di kalangan petani ternak di
Madura sangat lambat. Demikian pula
ketersediaan pejantan unggul hasil seleksi di
BIB terbatas adanya, tidak mencukupi/kurang.
Perbaikan mutu genetik sapi Madura
melalui strategi pemulia biakan ternak yang
dituangkan dalam arah dan tujuan yang ingin
dicapai dari perbaikan mutu genetik itu sendiri
ditinjau dari segala aspek baik aspek produksi,
reproduksi maupun aspek sosiobudaya.
Keberhasilan perbaikan mutu genetik ternak
secara garis besar dapat diukur dengan
pengamatan parameter fenotipik atau sifat-sifat
karakteristik berupa daya hidup (survival), laju
pertumbuhan, efisiensi reproduksi dan
persentase karkas.
Seleksi (pemurnian)
Perbaikan mutu genetik sapi Madura
melalui program seleksi guna mendapatkan
sumber bibit pejantan unggul dan merupakan
pilihan yang paling memungkinkan dengan
memanfaatkan populasi dan keunggulan sapi
lokal yang adaptif pada lingkungan kering dan
kondisi sumber pakan yang jelek.
Pengembangan sapi Madura pada kondisi
lingkungan yang sesuai pada habitat asli,
merupakan peluang keberhasilan tanpa harus
melakukan manipulasi penyesuaian
lingkungan; untuk itu pengambangannnya
dibutuhkan program pemulaibiakan sapi
Madura yang jelas, terarah, terkontrol dan
monitoring berkelanjutan.
Aspek sosiobudaya masyarakat Madura
yang mengembangkan hoby, kesenangan
memelihara sapi yang baik untuk dilombakan,
merupakan faktor pendukung didalam upaya
perbaikan mutu ternak. Pemanfaatan tradisi
budidaya masyarakat ini, merupakan bahan
pertimbangan yang perlu diperhatikan didalam
pelaksanaan seleksi yang memiliki performan
yang sesuai dengan selera masyarakat.
Perbaikan mutu genetik dengan pola
Peternakan Inti Terbuka (Open Nucleus
Breeding Plan) yang mempunyai kebaikan
selalu memasukkan gen baru didalam
kelompok pembibitan, sehingga dapat
mengurangi depresi silang dalam (inbreeding)
MARTOYO (1991).
Pembentukan pembibitan melalui seleksi/
penjaringan sapi Madura jantan dan betina dari
populasi umum yaitu populasi sapi Madura
yang dikembangkan oleh peternakan rakyat.
Hasil penjaringan dipersiapkan sebagai
kelompok pembibitan untuk menghasilkan
pejantan berkualitas sebagai sumber genetik
dan dikembangkan sebagai kelompok “elite”.
Seleksi sapi jantan dilakukan terhadap
keturunan kelompok pembibitan pada setiap
generasi dan diikuti penyisihan (culling) sapi
jantan dan betina yang menunjukkan
performans yang jelek.
Pejantan per generasi hasil seleksi (unggul)
dikembalikan ke populasi umum yaitu
peternakan rakyat untuk mengawini sapi
betina. Sapi jantan di populasi umum yang
tidak terseleksi dikeluarkan dari populasi
sebagi terminal sire sehingga memutus
genotype keturunan yang tidak diharapkan.
Kelompok pembibitan “elite” yang pada
dasarnya tidak menguntungkan dan
pengembalian modal jangka panjang, sehingga
kelompok atau pusat pembibitan penghasil
pejantan unggul dikelola oleh pemerintah atau
bekejasama dengan pemodal (swasta). Pola
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
48
Gambar 1. Bagan perbaikan mutu genetik sapi Madura melalui perkawinan pejantan unggul pergenerasi
Sumber: HAKIM (1993)
pernaikan mutu ini dilakukan berkelanjutan
sampai diperoleh populasi umum dengan mutu
genetic semakin meningkat.
Perkawinan silang/grading up
Perkawinan silang merupakan cara
perkawinan antara individu yang tidak
memiliki hubungan keluarga dekat yang
bertujuan perbaikan mutu ternak secara cepat
dan hasilnya nyata dengan memanfaatkan
hybride vigour (heterosis), apabila heterosis
menunjukkan dampak positif dibanding
tetuanya. Menurut HARDJOSUBROTO (2002)
dan KINGHORN dan SIMM (1999) bahwa
perkawinan silang dua bangsa hanya dilakukan
dan akan memberikan manfaat yang baik
apabila efek heterosis tampak lebih baik.
Faktor heterosis dimanfaatkan yang
penekanannya diarahkan kepada peningkatan
produktivitas, sedangkan arah untuk
mendapatkan bangsa baru merupakan hal yang
tidak mungkin karena diperlukan waktu
panjang, materi, dan keragaman faktor genetik
cukup besar.
Pengalaman hasil pemuliabiakan
perkawanan silang untuk mendapatkan bangsa
baru dengan produktivitas optimal terjadi
setelah perkawainan silang dengan ratio darah
3/8 lokal + 5/8 exotic. Sedangkan faktor
heterosis dari generasi kegenerasi akan selalu
semakin menurun 100%, 75%, 50%, 25% dan
pada akhirnya heterosis negative, akan terjadi
perubahan produktivitas. Produktivitas yang
paling optimal dari grading up dengan
pemanfaatan heterosis adalah ratio darah 50%,
F1 dikembangkan sebagai terminal breed.
Kebijakan Dinas Peternakan Propinsi Jawa
Timur melalui Semiloka dalam rangka
pemberdayaan dan grading up sapi Madura
guna mendukung program intan sejati Jawa
Timur, dengan arah pengembangan sapi
Madura melalui pemberdayaan, pelestarian dan
peningkatan produktivitas sapi Madura dengan
grading up melalui perkawinan silang (exotic
breed).
Kelanjutan grading up sapi Madura melalui
persilangan rotasi dengan pemanfaatan
pejantan hasil perkawinan silang (F1) akan
merubah struktur ratio darah turunan
pergenerasi. Ratio darah lokal (sapi Madura
Pusat pembibitan untuk
menghasilkan pejantan
(Pemeliharaan intensif
Populasi umum
Populasi umum betina
Populasi umum betina
Populasi umum betina
Populasi umum betina
Dinas Peternakan
atau UPT
Di Pedesaan
Seleksi jantan dan betina
Generasi 1 X
Generasi 1 X
Generasi 1 X
Generasi 4 X
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
49
semakin menurun dan akan diikuti perubahan
gen keunggulan sapi lokal yang memiliki
kemampuan adaptasi lingkungan.
Perlu adanya evaluasi/identifikasi/analisis
dampak pascacrossing pada lokasi/wilayah
pengembngan persilangan (crossing) untuk
memprediksikan strategi perkawinan silang
berikutnya yang sesuai dengan kendala teknis
maupun sosiobudaya masyarakat., prediksi
yang kurang tepat penyebab terjadinya
kehancuran suatu bangsa.
Perkawinan silang yang terkendali,
pengawasan tidak ketat program tidak jelas
kelanjutannya yang selama ini selalu terjadi
didalam pelaksanaan program perkawinan
silang (program ongolisasi misalnya) ,dapat
terjadi kekacauan genetik yang pada akhirnya
tidak memberikan dampak posisitif, demikian
pula maraknya program IB bangsa sapi
temperate sampai sekarang belum banyak data
tentang hasil dan pengaruh perkawinan silang
yang akurat.
Perkawinan silang terhadap sapi Madura
dibutuhkan perwilayahan yang seyogyanya
tidak mengganggu perkembangan sapi murni
yang memiliki kompetensi dan keunggulan
tersendiri sebagai indigenus breed.
Gambar 2. Bagan grading up sapi Madura dengan pejantan persilangan
F-1 jantan dan betina
(50 % import : 50% lokal
Kelompok betina
terseleksi dari
populasi umum
Pejantan
unggul import
Populasi umum betina
Interse mating untuk menghasilkan
pejantan persilangan (F-1)
75% lokal
25% impor
(betina)
62% lokal
38% impor
(betina)
56% lokal
44% impor
(betina)
Interse mating untuk menghasilkan
pejantan persilangan (F-1)
Interse mating untuk menghasilkan
pejantan persilangan (F-1)
Perkawinan secara kontinyu dengan diikutiseleksi
Dinas Peternakan
atau UPT
Di Pedesaan
X
X
X
X
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
50
PELESTARIAN PLASMA NUTFAH SAPI
MADURA
Penyebaran sapi Maduran diluar pulau
Madura tidak menunjukkan perkembangan
yang siknifikans sehingga dalam upaya
pelestariannya lebih memungkinkan dilaksanakan
di pulau Madura, yang selama ini masih
dilindungi atau diatur oleh perundangan.
Sapi Madura sebagai plasma nutfah sapi
potong indigenus merupakan salah satu
kebanggaan secara nasional yang perlu
dipertahankan keberadaannya.
Layaknya sapi Bali, sapi Madura juga
merupakan sapi potong yang dilindungi
keberadaannya di pulau Madura. Mengacu
kepada Lembaran Negara (Staadblad) No.226
tahun 1923, No.1465 tahun 1925, No. 368
tahun 1927, No. 57 tahun 1934 dan No. 115
tahun 1937; serta tersirat didalam UU Nomor 6
tahun 1967 tentang pokok-pokok Peternakan
dan Kesehatan Hewan. Peraturan-peraturan
tersebut menybutkan antara lain ditetapkan
bahwa pulau Madura dan Bali sebagai tempat
pengembangan murni (pure breed) masingmasing
untuk sapi Madura dan sapi Bali;
pelarangan keluar dan masuknya jenis sapi lain
dari pulau, pengeluaran dapat dilakukan
dengan syarat khususnya diberikan bagi sapi
yang tidak produktif atau bukan sebagai bibit.
Kebijakan untuk kepentingan yang khusus
maka pengeculian hanya dapat diberikan oleh
Mentri Pertanian dengan pengawasan yang
ketat dan terjamin tidak akan terjadi
pencemaran kemurnian sapi di lingkungannya
(DARMADJA, 1990).
Konsistensi penerapan peraturan tersebut
sebagai salah satu faktor yang dapat
menyebabkan kemajuan atau kemerosotan
sumberdaya genetik sapi Madura di habitat
aslinya pulau Madura, Jangka panjangnya
kemungkinan untuk mendapatkan sapi yang
baik, murni, dengan produktivitas tinggi justru
“berada diluar” pulau Madura.
Kebijakan Dinas Peternakan Propinsi Jawa
Timur dalam rangka pemberdayaan, pelestarian
dan grading up sapi Madura dengan sapi
bangsa Bos taurus yang berwarna merah
dengan syarat antara lain minat masyarakat dan
wilayah yang berkecukupan pakan atau
peternak mampu. Sedangkan untuk pemurnian
diprediksikan akan dikembangkan di
kepulauan sekitar Pulau Madura, akan tetapi
seberapa jauh dampak pemuliabiakan dengan
wilayah pengembangan yang relatif kecil baik
wilayah dan populasinya. Pada akhirnya akan
memberikan dampak yang lebih mengenaskan
bagi sapi Madura sebagai sapi indigenus
kebanggan bangsa. Namun demikian perlu
adanya jaminan tidak akan terjadi pencemaran
terhadap “bangsa” ternak murni (BUDIMAN,
1991).
Sebagai pengimbang paling tidak dilakukan
atau ditentukan peluasan area pembibitan di
wilayah lain yang mampu mengisolasi
komunitas yang cukup besar dan diikuti
program seleksi pemurnian sapi Madura untuk
meningkatkan produktivitas yang diissuekan
cenderung semakin menurun.
Dukungan kebijakan yang konsisten,
peninjauan dan penegasan kembali peraturan
pemerintah yang ada, guna tindak lanjut dalam
pelaksanaan pelindungan, pemanfaatan dan
pengembangan sapi Madura yang lebih nyata.
Seyogyanya pemanfaatan sapi madura murni di
pulau Madura sebagai populasi dasar yang
memungkinkan dikembangkan sebagai bahan
dasar untuk membentuk bangsa baru yang
unggul dan adaptif untuk daerah tropis, untuk
itu program pembibitan kearah pembentukan
bangsa baru dilaksanakan diluar Pulau Madura.
KESIMPULAN
1. Perlu dilakukan pelestarian sapi Madura
sebagai bangsa sapi indigenus Indonesia
dan dibutuhkan penyiapan bibit pejantan
berkualitas (unggul) melalui pembibitan
dan performans test.
2. Produktivitasnya beragam berpeluang
ditingkatkan dengan pemanfaatan potensi
kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan yang berat dan tahan penyakit.
3. Seleksi dan atau grading up dapat
dilakukan dengan pertimbangan pelestarian,
perwilayahan pengembangan dan
monitoring berkelanjutan terhadap genotipe.
4. Keterbatasan populasi pada wilayah
pembibitan dapat sebagai faktor percepatan
inbreeding.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
51
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMUS. 2001. Penetapan standard bibit ternak
regional Jawa Timur. Dinas Peternakan
Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Sumenep.
ANONIMUS. 1993. Pengembangan sapi Madura di
kabupaten Bulungan Kalimantan Timur. Pros.
Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak
Grati. Sumenep. hlm. 35–44.
BAKRI, B., KOMARUDIN-MA’SUM dan E. TELENI.
1993. Peningkatan kemampuan kerja sapi
Madura melalui perbaikan kondisi fisik
sebelum masa kerja. Pros. Pertemuan Ilmiah
Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi
Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm.
211–215.
BUDIMAN, S. 1991. Peraturan dan kebijakan
pemuliaan di Indonesia serat permasalahannya.
Direktorat Bina Produksi Peternakan.
Makalah pada seminar sehari Bersama
pemuliaan Ternak. Fak Peternakan. IPB.
Bogor. 26 September 1991.
DARMONO, N. GINTING dan SUDARISMAN. 1993.
Penyakit pada sapi Madura dan peneltian
penyakit yang telah dilakukan. Pros.
Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak
Grati. Sumenep. hlm. 55−58.
DJATI, M.S. dan KARNAEN. 1993. Evaluasi
kemampuan sapi Madura untk mengolah lahan
pertanian lahan kering. Pros. Pertemuan
Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan
Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep.
hlm. 221−230.
HARDJOSUBROTO, W., ENDANG. B. dan SIDQI-ZAUD.
1993. Kapasitas suplai sapi Madura dari pulau
Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil
Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura.
Sub Balitnak Grati. Sumenep. hlm. 198−210.
HEDAH, J. 1993. Peranan Balai inseminasi Buatan
Singosari dalm meningkatkan mutu sapi
Madura melalui inseminasi buatan. Pros.
Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak
Grati. Sumenep.Hal :92−100.
KINGHORN, B.P. and G. SIMM. 1999. The genetics of
cattle. Ed. R Fries and A. Ruvinsky. Cabi
Publishing 577−603.
KOMARUDIN-MA’Sum. 1993. Hasil-hasil
penelitian sapi Madura di Sub Balai Penelitian
Ternak Grati, Pasuruan. Pros. Pertemuan
Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan
Sapi Madura. Sub Balitnak Grati. Sumenep.
hlm. 45–54.
Hakim, L. 1993. Program pemuliaan sapi Madura
dalam rangka meningkatkan performans
produksinya. Pros. Pertemuan Pembahasan
Hasil Penelitian Bibit Sapi Madura Guna
meningkatkan Mutu Sapi Madura. Malang.
Sub Balitnak Grati. Hal : 49 – 58.
Martoyo, H. 1991. Program pemuliaan dalam usaha
pembibitan ternak sapi pedaging dan
permasalahannya. Makalah pada seminar
sehari Bersama pemuliaan Ternak. Fak
Peternakan. IPB. Bogor. 26 September 1991.
Siregar, A. R. 1995. Potensi dan karakteristik sapi
Madura. J. Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Vol. IV. No. 2.
Rasyid, A. dan U. Umiyasih, 1993. Study tentang
prestasi berat badan dan ukuran tubuh sapi
sonok. Proc. Pertemuan Ilmiah Hasil
Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura.
Sub Balitnak Grati. Sumenep. Hal. 236-240.
Soehadji. 1993. Kebijakan pengembangan ternak
potong di Indonesia tinjauan khusus sapi
Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah
HasilPenelitian dan Pengembangan Sapi
Madura. Sumenep. Hal.1-12.
Soerjoatmodjo, M. 2002. Tinjauan potensi sapi
Madura dan kajian program grading up
menuju tercapainya kecukupan daging tahun
2005. Semiloka dalam rangka pemberdayaan
dan grading up guna mendukung program
intan sejati Jawa Timur. Dispet Prop. Jatim.
Sumenep.
Soesetya, R. H. B. 1993. Prevalensi fasciolasis pada
sapi Madura yang disembelih di wilayah
pembantu Gubernur Jawa Timur di Madura.
Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak
Grati. Sumenep. Hal.257-261.
Sudana, I.G. S., S. Witono, Soeharsono, D. N.,
Darma dan I. N. Suendra. 1993. Survei situasi
penyakit ngorok (haemirrhagic septichaemi) di
Pulau Madura. Dalam Pros. Laporan Tahunan
Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di
Indonesia., periode 1981/1982 : 51-57.
Sukanto, I. P., R. C. Payne dan R. Graydon. 1988.
Trypanosomiasis di Madura. Survei
parasitologi. Penyakit Hewan 20 (36) : 85-87.
Susilawati, T. 2002. Strategi dan peran inseminasi
buatan dalam grading up sapi Madura.
Semiloka dalam rangka pemberdayaan dan
grading up guna mendukung program intan
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
52
sejati Jawa Timur. Dispet Prop. Jatim.
Sumenep.
Umar, M. dan Riszqina. 1993. Perbandingan antara
pemakaian formula berat hidup dan berat
ditimbang pada sapi Madura dara. Pros.
Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak
Grati. Sumenep. Hal.252-256.
Warwck, E. J. Astutik, dan W. Hardjosubroro. 1983.
Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada Univ. Press.
Yogyakarta.
Wijono D. B. dan Lukman Affandhy. 1993.
Tampilan reproduksi sapi “Sonok” di
Kabupaten Sumenep, Madura. Pros.
Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak
Grati. Sumenep. Hal.106-109.
Wijono D. B.. 1998. Peran bobot badan dan ukuran
testes sapi potong pejantan terhadap
kemampuan produksi dan tingkat kualitas
semen. Pros. Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner. Jilid I. Puslitbangnak. Bogor.
Hal. 228-232.
Wijono, D. B. dan Apffandhy, L.1996. Peranan skor
kondisi badan induk dalam pemanfaatan
potensi g netik sapi Madura. Pros. Temu
Ilmiah Hasil-hasil Penelitian Peternakan.
Puslitbangnak. Ciawi-Bogor. Hal : 223 -228.
0 komentar: